Friday, December 9

Perang Mata Uang (Amerika vs China)

Faktor pemicu munculnya isu perang mata uang adalah semakin membesarnya defisit perdagangan AS. Pada tahun 1993 defisit total perdagangan AS baru mencapai 115,6 miliar dollar AS, tetapi pada tahun 2000 sudah meningkat menjadi 4326,1 miliar dollar AS. Deficit perdagangan bahkan meningkat lagi 503,6 miliar dollar AS pada tahun 2009. Jadi, dalam hampir hampir 20 tahun terakhir defist perdagangan AS mengalami peningkatan 335 persen.


AS tentu saja tidak senang dengan perkembangan ini dan berusaha untuk memperbaiki neraca perdagangan sebisa mungkin. Saat ini kebetulan China-lah yang memiliki surplus perdagangan terbesar dengan AS sehingga China menjadi sasaran utama AS untuk menekan deficit perdagangannya. Atau, dengan istilah AS, agar ketidakseimbangan global dapat diperbaiki.

Memang, perkembangan surplus perdagangn china dengan AS amat mencengankan. Pada tahun 1993 defisit perdagangan AS dengan China hanya mencapai sekitar 22,6 miliar dollar AS. Jumlah ini sudah naik menjadi 83,8 miliar dollar AS pada tahun 2000 dan pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi 226 miliar dollar AS.

Jadi, sampai dengan tahun 2009 defisit perdagangan AS dengan China sudah meningkat sekitar 170 persen dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2000. Dan, situasi tampak semakin memburuk karena pada sembilan bulan pertama tahun 2010 ini deficit perdagangan AS dengan China sudah mencapai 201 miliar dollar AS.

Perlu dikemukakan disini bahwa kenaikan nilai nominal surplus perdagangan AS tersebut bukan karena disebabkan oleh membesarnya ekonomi AS saja.  Kenaikan tersebut terjadi karena memang secara riil ekonomi AS menjadi semakin banyak menyerap produk dari luar negeri tersebut, hal ini terlihat dari rasio deficit perdagangan AS terhadap PDB-nya, yang meningkat dari 1,7 persen pada tahun 1993 menjadi 4,4 persen pada tahun 2000, memuncak di 6,1 persen pada tahun 2005, dan pada tahun 2009 menurun ke kisaran 3,9 persen.

Kontribusi deficit dengan China cukup signifikan, mencapai sekitar 1,6 persen dari PDB AS pada tahun 2009. Karena itu, tidaklah mengherankan bila AS geto; mencari cara agar deficit perdagangannya dengan China dapat ditekan. Dan, salah satu alas an yang oleh AS dianggap tepat adalah memaksa China memperkuat nilai tukar yaun dengan cepat.

Memang selama ini pergerakan nilai tukar yan terhadap dollar AS relative terbatas karena pemerintah China mengontrol nilai tukar yuan dengan ketat. AS berpendapat bila nialai yuan menguat dengan signifikan, daya saiang produk China di pasar AS akan tergerus, sementara daya saing produk AS akan meningkat. Akibatnya, diharapkan deficit perdagangan AS dengan China (dan Negara-negara lainnya di dunia) akan segera turun.
AS menyalahkan China bahwa timbulnya deficit yang semakin meningkat dikarenakan China telah melakukan manipulasi nilai tukar. Padahal tiadak terlihat sedikitpun China melakukan devaluasi besar-besaran untuk meningkatkan daya saingnya dalam 10 tahun terakhir.

Sebaliknya, dalam lima tahun terakhir ini nilai yuan justru mengalami penguatan yang cukup lumayan, sekitar 19,9 persen terhadap dollar AS. Penguatan nilai yuan ini tampak belum dapat menurunkan deficit perdagangan AS dengan China seperti yang diharapkan. Perlu dikemukakan juga disini bahwa nilai yuan juga menguat terhadap rupiah.

Sebaliknya, nilai dollar AS mengalami pelemahan yang cukup signifikan terhadap banyak mata uang dunia dalam lima tahun terakhir. Nilai yen jepang, misalnya, sudah mengalami pengautan sebesar sekitar 43 persen terhadap dollar AS dalam lima tahun terakhir.

Tampaknya justru AS yang melakukan kebijakan melemahkan mata uangnya. Pemerintah AS tentu saja membantah ini dan mengatakan pelemahan yang terjadi adalah karena konsekuensi kebijakan mereka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestic mereka, termasuk langkah Bank sentral AS, The Fed, untuk kembali membeli obligasi Pemerintah AS dalam jumlah yang besar dalam waktu dekat.

Diskusi diatas menunjukan bahwa tuduhan AS bahwa China telah melkukan maipulasi mata uang untuk meningkatkan daya saing produknya tampaknya tidak mempunyai landasan yang terlalu kuat. Kaedaan ini membuat perang mata uang yang diantisipasi banyak orang akan terjadi pada pertemuan G-20 di Seoul minggu lalu dapat dihindari dengan relative mudah.

Kesimpulannya bahwa dengan adanya perang mata uang ini ada sisi positif dan sisi negative. Sisi positifnya adalah dengan adanya perang mata uang ini nilai tukar dollar yang merupakan standar nilai tukar  sebagian besar Negara di dunia mengalami menurunan. ini memberi berkah pada importer khususnya yang menangani barang-barang dari AS. Dengan begitu harga jual barang AS mengalami penurunan akibat menurunnya nilai tukar dollar AS dan meningkatnya nilai tukar rupiah.

Sisi negatinya adalah menurunnya nilai cadangan devisa Negara Indonesia yang menggunakan nilai standar dollar AS. Bagi para eksportir yang melakukan kegiatan menjual barang domestic ke amerika akan mengalami penurunan pendapatan akibat niali tukar dollar yang melemah.

Dengan adanya perang mata uang ini, Indonesia harus mencari sebuah posisi yang tepat dalam mengelola pasar modalnya. Alangkah baiknya jika Indonesia tidak memihak salah satu dari Negara yang memicu perang mata uang ini. Karena ketika Indonesia ikut serta dalam perang ini maka akan menimbulkan banyak kegiatan spekulasi yang kemungkinan akan lebih parah yang mampu mengakibatkan lemahnya system ekonomi di Indonesia. Akan tetapi pasar modal Indonesia harus bisa mencari nilai standar tukar sendiri yang bebas dari kegiatan spekulasi ataupun riba.
Di Indonesia ini mayoritas masyarakatnya beragama islam. Dan dalam islam semua yang ada di dunia ini telah diatur oleh Al Quran. Termasuk juga system nilai tukar. Islam telah menjelaskan bahwa system nilai tukar yang baik adalah system standar islam, yang mana dalam system ini mata uang yang digunakan adalah emas dan perak. Mata uang emas dan perak disebut baik karena nilainya yang jarang sekali berubah sehingga tidak akan menimbulkan spekulasi maupun inflasi. 

No comments:

Post a Comment